Penjelasan Isytigholul 'Amil anil Ma'mul dalam Alfiyah
Isytighol yaitu mendahulukan isim dan mengakhirkan fi’il,
yang fi’il tersebut beramal pada dhomir, dan dhomir tersebut kembali pada isim
yang didahulukan tadi.
(kita lihat contoh nanti di bawah)
Pembahasan isytighol ini ada diantara pembahasan bab
marfu’at dan bab manshubat, penyebabnya karena hukum isytighol ada dua:
1.
Rofa’ isim
sabiqnya
Rukun istighol ada empat, yaitu:
1.
Syaghil (yang
menyibukkan) yaitu dhomirnya
2.
Masyghul (yang
disibukkan) yaitu fi’ilnya atau syibeh fi’ilnya
3.
Masyghulun bih (amalnya
fi’il)
4.
Masyghulun ‘anhu
(isim sabiqnya)
Contoh seperti:
زيدًا ضربتُهُ
-
Lafadzزيدا dalam
contoh di atas adalah isim sabiq (isim yang didahulukan) yang sering
disebut masyghulun ‘anhu.
-
Lafadz ضرب adalah masyghul atau ‘amil
yang disibukkan
-
huruf ه adalah isim dhomir yang sering disebut
syaghil.
Catatan: syarat ‘amil (fi’il/syibeh
fi’il) yang bisa beramal dalam istighol itu ada empat, yaitu:
1.
‘Amilnya harus
bisa beramal pada isim yang sebelumnya
2.
‘Amilnya jangan
terbuat dari fi’il ghair mutasharrif (fi’il jamid)
3.
‘Amilnya jangan
terbuat dari sifat musyabahah
4.
‘Amilnya jangan
terbuat dari huruf
Kita lihat bait Alfiyahnya:
إِنْ مُضْمَـرُ اسْـمٍ سَـابِقٍ فِعْـلًا شَغَـلْ * عَنْـهُ بِنَصْـبِ لَفْظِـه
أَوِ المحَـلْ
فَالسَّـابِـقُ انْصِبْـهُ بِفِعْـلٍ أُضْمِـرَا * حَتْمًـا مُوَافِـقٍ لِمَـا قَدْ
أُظْهِـرَا
Jika
dhomir dari isim shabiq menyibukkan fi’ilnya, tentang hal yang menashabkan
lafadz isim shabiq ataupun mahalnya
Maka
nashabkanlah isim shabiq tersebut oleh fi’il yang wajib disimpan dengan
mencocoki terhadap fi’il yang didzohirkan.
Kesimpulan dari bait di atas ialah setiap fi’il yang
disibukkan oleh dhomir, yang dhomir tersebut dinashabkan lafadnya seperti زيدًا ضربتُهُ atau dhomir tersebut
dinashabkan mahalnya seperti زيدًا مررتُ به yang dhomir tersebut
kembali pada isim sabiq (زيدًا), yang isim sabiq tersebut menjadi maf’ul
bih terhadap fi’il yang dibuang (seperti contoh paling atas) maka isim sabiq
tersebut wajib dinashabkan atau boleh dinashabkan (penjelasan lengkap nanti di
bawah).
Dinashabkannya isim sabiq tersebut ialah oleh fi’il
yang dibuang, yang hukum pembuangannya wajib, dan fi’il yang dibuang tersebut
harus sesuai dengan fi’il dzohirnya, jadi semisal kalau contoh:
زيدًا ضربتُهُ
Takdirnya adalah:
ضربتُ زيدًا ضربتُهُ
Lafadzزيدًا di
atas wajib/boleh dinashabkan karena menjadi maf’ul bih dari fi’il yang dibuang
(lafadz ضرب yang pertama).
Selanjutnya lafadz ضرب yang pertama (contoh di
atas) wajib dibuang, dan lafadz ضرب yang pertama sesuai
dengan fi’il dzohirnya (ضرب yang kedua).
Begitu juga dengan dhomir yang mahal nashab:
زيدًا مررتُ به
Takdirnya adalah:
مررتُ بزيد مررتُ به
Kita lihat bait Alfiyah
selanjutnya:
والنّصـبُ حَتْـمٌ إِنْ تَـلَا السّـابـقُ مَـا * يُخْتَـصُّ بالفعـل كإِنْ
وحَيثُمـا
Kita ketahui dulu bahwa permasalahan seputar
isytighol ada lima, yaitu:
1. Isim sabiq wajib
dinashabkan, seperti dalam kandungan bait di atas
2. Isim sabiq wajib
dirofa’kan
3. Isim sabiq boleh
dirofa’kan dan boleh dinashabkan, tetapi yang lebih utama dinashabkan
4. Isim sabiq boleh
dinashabkan dan boleh dirofa’kan, tetapi yang lebih utama dirofa’kan
5. Isim sabiq boleh
dirofa’kan dan boleh dinashabkan, dan keduanya sama derajatnya, dalam artian
tidak ada yang lebih utama.
Bait yang di atas
adalah termasuk permasalahan istighol nomor satu, yakni isim sabiq yang wajib
dinashabkan, syaratnya yaitu setiap isim sabiq yang menyandingi pada adat
yang tentu adat tersebut menyandingi pada fi’il seperti adawat syarat.
Yang menashabkan isim
sabiq tersebut ialah fi’il yang dibuang, yang wajib hukum pembuangannya, dan
fi’il yang dibuang tersebut cocok atau sesuai dengan fi’il yang dzohirnya,
contoh:
إنْ زيدًا ضربتُه
Takdirnya adalah:
إنْ ضربتُ زيدًا ضربتُه
Lafadzزيدًا pada
contoh di atas hukumnya wajib dinashabkan, karena زيدًا (isim sabiq) menyandingi pada adat yang
tentu adat tersebut menyandingi pada fi’il yaitu lafadz إنْ yang termasuk adawat syarat.
(mengenai wajibnya
pembuangan fi’il dan keharusan cocoknya fi’il yang dibuang dengan fi’il yang
dzohirnya sudah dijelaskan di atas)
Contoh lainnya seperti:
حيثما زيدًا تُلْقِيْهِ فأَكْرِمْهُ
Takdirnya adalah:
حيثما تُلْقِيْ زيدًا تُلْقِيْهِ فأَكْرِمْهُ
Isim sabiq pada ke dua
contoh di atas tidak boleh dirofa’kan (tidak boleh dibuat mubtada’), sebab
mubtada tidak pernah tersandingi oleh adawat syarat.
Kita lihat bait Alfiyah
selanjutnya:
وَإِنْ تَـلا السَّـابِـقُ مـا بِالإبتِـداءِ * يُخْـــتَـصُّ فَالـرَّفْع الْتَزِمْـهُ
أَبَـدَا
Bait yang di atas
adalah termasuk permasalahan istighol nomor dua, yakni isim sabiq yang wajib
dirofa’kan, syaratnya yaitu setiap isim sabiq yang menyandingi pada adat
yang tentu adat tersebut menempel pada mubtada’ seperti إذًا فُجَائِيَّة
dan
ليتما
إبتدائيّة.
Isim sabiq yang seperti
ini wajib dirofa’kan karena menjadi mubtada, dan lafadz setelah isim sabiq
tersebut menjadi khobar.
Contoh:
ليتما زيدٌ
أكرمتُه
Lafadz زيدٌ pada
contoh di atas hukumnya wajib dirofa’kan, karenaزيدٌ (isim
sabiq) menyandingi pada adat yang tentu adat tersebut menempel pada mubtada’
yaitu lafadz ليتما.
Contoh lain:
خَرَجْتُ فَإِذًا
يَضْرِبُه بَكْرٌ
Kita lihat bait Alfiyah
selanjutnya:
كَـذا إِذَا الفعـلُ تـلا مـا لـمْ يَـرِدْ * مـا قبـلُ مَعمـولا لمـا بعـدُ وُجِـدْ
(baru sampai sini)
المراجع: تسهيل المسالك في ترجمة الفيّة ابن مالك لمحمد عبد الله بن حسن
كونجسي شارنجن سوكابومي.
Post a Comment for "Penjelasan Isytigholul 'Amil anil Ma'mul dalam Alfiyah"